Oleh : Indra Tranggono
Marilah kita main hitung. Di luar biaya reses dan tunjangan lain, gaji bersih yang diterima setiap anggota DPR per bulan adalah sekitar Rp. 57 juta atau Rp 684 juta per tahun.
Dalam lima tahun, gaji yang mereka terima adalah Rp. 3.420.000.000 (Rp. 3,42 miliar). Taruhlah meeka mengeluarkan biaya administrasi pemilu Rp. 1 miliar, maka masih ada “laba” Rp. 2.420.000.000 (2,42 miliar).
Dengan hitungan kasar, kita dapat menyimpulkan setiap anggota DPR di Senayan hidup supersejahtera. Mereka mempunyai penghasilan per hari minimal Rp. 1,9 juta (Rp. 57 juta dibagi 30 hari). Bandingkan dengan penghasilan rakyat kecil per hari yang berkisar Rp. 20.000 hingga Rp. 30.000.
Rakyat kecil pun tak kenal uang reses atau tunjangan gaji, tetapi hanya mengenal “bonus” penderitaan: dari kesulitan menyekolahkan anak, membayar biaya kesehatan, mencari kebutuhan hidup sehari-hari yang mahal, sampai kesulitan mencari uang itu sendiri. Itu pun, jika tak beruntung, masih mendapat bonus lain: kena ledakkan tabung gas atau menjadi obyek penggusuran pasukan polisi pamong praja.
Cita-cita merdeka
Konstitusi kita memiliki tiga kata kunci: melindungi, menyejahterakan, dan mencerdaskan kehidupan rakyat. Amanah konstitusi itu dibebankan kepada (para penyelenggara) negara, baik eksekutif, legislatif maupun yudikatif. Sebagai lembaga legislatif, DPR memiliki tiga tugas pokok: pengawasan, anggaran dan membuat undang-undang (legislasi). Dengan tiga tugas itu, DPR mendorong terwujudnya kehidupan masyarakat yang terlindungi, sejahtera dan cerdas atau kehidupan yang memenuhi standar merdesa, yakni sejahtera, patut dan layak.
Target hidup secara merdesa merupakan impian dasar mayoritas rakyat kita. Hidup sejahtera berarti terjamin hak-hak dasarnya: hak mendapatkan kehidupan layak, layak mendapatkan pekerjaan, hak mendapatkan pendidikan, hak mendapatkan keamanan, hak mendapatkan pelayanan sosial, hak mendapatkan kebebasan berekspresi, kebebasan memeluk keyakinan/agama, hak mengembangkan diri, dan lainnya.
Patut dan layak berarti sesuai nilai, etika, norma, dan moral yang jadi basis kehidupan bangsa.
Jika DPR adalah lembaga perwakilan untuk memperjuangkan kepentingan rakyat, makna “perwakilan” harus dielaborasi dan diperkaya dengan makna “pemerdesaan” dapat dijadikan tanggung jawab moral sekaligus orientasi nilai DPR sehingga mereka wajib merasa bersalah, berdosa dan malu jika gagal memperjuangkan cita-cita hidup merdesa rakyat.
Kita dapat memahami tindakan aktor film Pong Hardjatmo yang menuliskan grafiti “jujur, adil dan tegas” di atas gedung DPR Senayan. Pong, seperti juga ratusan juta rakyat Indonesia yang lain, geram melihat dan merasakan kinerja anggota Dewan yang “Adem ayem” dan lebih sibuk dengan “teater retorik” daripada menggelar teater konkret lewat penuntasan berbagai persoalan besar di negeri ini (kasus Bank Century dan lainnya).
Selama ini, para anggota Dewan di Senayan cenderung memaknai upaya-upaya penuntasan berbagai persoalan besar bangsa tak lebih dari kosmetik politik agar bercitra sebagai hero. Namun, “perjuangan” itu menguap seiring dengan lunturnya kosmetik. Rakyat hanya disuguhi gegap gempita “teater politik” melalui berbagai media massa. Sesudah teater itu berlalu, rakyat kembali disergap kesunyian yang panjang dan menyesakkan. Ironisnya, untuk semua pergelaran “teater politik” itu, Negara harus mengeluarkan biaya besar!
Teater sosial
Kita tidak berharap Negara ini hanya menjadi panggung ketoprak humor yang “wagu” dan tidak lucu, tempat para anggota Dewan – yang bergaji Rp. 1,9 juta per hari itu – memamerkan kepiawian seni lakon (acting) demi entertainment politik yang melelahkan dan membosankan.
Teater sosial yang berlangsung dalam kehidupan masyarakat jauh lebih konkret, spektakuler, dan dramatis; sebuah teater yang muncul dari berbagai kegagalan kebijakan pemerintah terkait hak-hak dasar publik. Teater bertajuk “Penderitaan Tiada Batas” ini berlangsung dalam setiap tarikan napas rakyat, terutama rakyat jelata.
Masihkah para anggota Dewan tega untuk “duduk manis”, “tidur”, dan “membolos”?
Dengan penuh kepahitan, kita terpaksa mengucap, “Kita membutuhkan wakil-wakil rakyat yang punya martabat.” Martabat diukur dari kualitas makna eksistensial melalui kiprah sosial yang penuh komitmen, dedikasi, integritas, dan kapabilitas untuk mewujudkan kehidupan bangsa yang berperadapan tinggi. [Indra Tranggono, Kompas 3/8/2010]
--------
Benarkah demikian yang mulia dan terhormat bapak-bapak ibu anggota DPR?!
Rakyat hanya melihat bukti, apa yang dirasakan, didengar dan dilihatnya. Namun demikian mereka tetap saja mau mendengar dan mencoba mengerti argumentasi yang penuh dengan balutan janji.
Menuju Indonesia sejahtera, maju dan bermartabat.
Best Regards,
Retno Kintoko