Yang penting jadi orang baik," begitu kata dosen dan antropolog Universitas Gajah Mada yang bernama panjang. Pujo Semedi Hargo Yuwono. Ia menyampaikan itu pada mahasiswanya. Seorang mahasiswa yang baru lulus kuliah, dan sedang bingung hendak ke mana untuk bekerja.
Menurut Pujo, bekerja apa pun baik. Sepanjang cocok dengan nurani. Pandangan yang belum sepenuhnya disetujui sang mahasiswa. Bagi mahasiswa itu, nilai ekonomi suatu pekerjaan penting untuk dipertimbangkan. Apalagi, di masa sekarang, saat ekonomi makin jadi ukuran sukses. Bahkan, dianggap sebagai syarat utama untuk bahagia. Namun, Pujo menggeleng. "Kalau jadi orang baik, uang akan datang sendiri," katanya.
Setuju pandangan Pujo? Boleh saja tak setuju. Tapi, sulit untuk membantah bahwa hati cenderung mendorong diri menjadi orang baik. Kita ingin menjadi orang baik. "Orang yang berguna bagi nusa, bangsa, dan agama," begitu slogan klise yang acap terdengar. Namun, dalam beberapa waktu terakhir, istilah 'orang baik' memang makin jarang terdengar. Istilah itu tenggelam oleh hiruk-pikuk kehidupan. Hiruk-pikuk orang jungkir balik mencari penghidupan. Juga, hiruk-pikuk orang sibuk memupuk kekayaan dan kekuasaan.
Dulu banyak orang mengajak yang lain agar menjadi orang baik. Orang tua pada anak-anaknya, guru pada muridnya, juga ulama pada jamaahnya. Sekarang, ajakan menjadi orang baik makin jarang terdengar. Istilah 'orang baik' makin jarang diucapkan. Tentu, makin sulit juga menjadi wujud orang baik. Sulit mencari orang baik sebenarnya bukan hanya saat-saat sekarang. Sudah beberapa lama ada penilaian, orang baik memang sulit dicari.
Yang terang-benderang menyebut orang baik sulit dicari adalah Jakob Sumardjo. Intelektual Bandung itu menulis kolom berjudul 'Orang Baik Sulit Dicari'. Sebuah judul yang diambilnya dari cerpen Amerika, Flannery O'Connor berjudul serupa. Jakob bahkan menggunakan judul itu untuk judul buku kumpulan tulisannya, yang diterbitkan oleh Penerbit ITB tahun 1997. Tulisan itu menunjukkan, beberapa tahun lalu pun orang baik sulit dicari. Bagaimana sekarang?
Keadaan lingkungan, sosial, ekonomi, hingga politik sering menghalangi menjadi orang baik. Para pengendara motor di Jakarta umumnya orang baik. Rumah yang jauh dari tempat kerja, juga berat beban perjalanan, membuat mereka ringan melampaui batas lampu merah atau malah menerobos rambu. 'Konstituen' banyak meminta dana bantuan, anggota DPR jadi sibuk mencari uang dengan berbagai cara. Para pejabat publik dituntut menjaga gengsi tak perlu. Dapat dimengerti bila banyak yang berlomba memanfaatkan kekuasaan untuk kepentingan itu. Keadaan semacam itu yang membuat orang baik sulit dicari.
Orang baik biasanya suka merendah. Jika tak benar-benar perlu, orang baik umumnya tak mau tampil. Itu membuat orang baik yang sudah sulit dicari makin sulit lagi dicari. Tapi, bukan berarti orang baik tak ada. Orang baik mungkin banyak. Cuma jumlahnya yang belum mencukupi untuk menjadi 'massa kritis' yang mampu mengubah umat dan bangsa ini menjadi baik. Perlu upaya untuk memperbanyak jumlah orang baik. Itu perlu upaya semua.
Orang baik dapat disebut sebagai orang yang ramah, santun, suka menolong, tak menyakiti, atau berbuat jahat pada yang lain. Juga tak korup atau menyalahgunakan wewenang. Tapi, kriteria orang baik tentu tak sesederhana itu. Orang baik juga harus mau dan mampu terus-menerus mengevaluasi dan memperbaiki diri. Orang baik tak akan pernah berhenti meningkatkan dan memperbaiki wawasan, sikap, serta perilaku. Orang baik juga akan terus belajar serta enggan mapan pada 'zona nyaman'-nya masing-masing. Orang baik suka mengambil prakarsa. Apa pun risikonya.
Orang baik demikian, tampaknya, yang diyakini dosen UGM itu akan membuat 'uang datang sendiri'. Boleh jadi kita merasa sudah jadi orang baik, namun ternyata uang tak kunjung datang sepanjang masa. Jika seperti itu, kita tentu belum sungguh-sungguh menjadi orang baik. Kita perlu berani mengevaluasi diri, membebaskan diri dari 'zona nyaman', terus menguatkan daya belajar diri, dan meningkatkan prakarsa. Itu berlaku bukan hanya bagi individu, melainkan juga masyarakat dan bangsa. Orang, masyarakat, serta bangsa yang baik akan membuat uang atau kemakmuran datang sendiri.
Menurut Pujo, bekerja apa pun baik. Sepanjang cocok dengan nurani. Pandangan yang belum sepenuhnya disetujui sang mahasiswa. Bagi mahasiswa itu, nilai ekonomi suatu pekerjaan penting untuk dipertimbangkan. Apalagi, di masa sekarang, saat ekonomi makin jadi ukuran sukses. Bahkan, dianggap sebagai syarat utama untuk bahagia. Namun, Pujo menggeleng. "Kalau jadi orang baik, uang akan datang sendiri," katanya.
Setuju pandangan Pujo? Boleh saja tak setuju. Tapi, sulit untuk membantah bahwa hati cenderung mendorong diri menjadi orang baik. Kita ingin menjadi orang baik. "Orang yang berguna bagi nusa, bangsa, dan agama," begitu slogan klise yang acap terdengar. Namun, dalam beberapa waktu terakhir, istilah 'orang baik' memang makin jarang terdengar. Istilah itu tenggelam oleh hiruk-pikuk kehidupan. Hiruk-pikuk orang jungkir balik mencari penghidupan. Juga, hiruk-pikuk orang sibuk memupuk kekayaan dan kekuasaan.
Dulu banyak orang mengajak yang lain agar menjadi orang baik. Orang tua pada anak-anaknya, guru pada muridnya, juga ulama pada jamaahnya. Sekarang, ajakan menjadi orang baik makin jarang terdengar. Istilah 'orang baik' makin jarang diucapkan. Tentu, makin sulit juga menjadi wujud orang baik. Sulit mencari orang baik sebenarnya bukan hanya saat-saat sekarang. Sudah beberapa lama ada penilaian, orang baik memang sulit dicari.
Yang terang-benderang menyebut orang baik sulit dicari adalah Jakob Sumardjo. Intelektual Bandung itu menulis kolom berjudul 'Orang Baik Sulit Dicari'. Sebuah judul yang diambilnya dari cerpen Amerika, Flannery O'Connor berjudul serupa. Jakob bahkan menggunakan judul itu untuk judul buku kumpulan tulisannya, yang diterbitkan oleh Penerbit ITB tahun 1997. Tulisan itu menunjukkan, beberapa tahun lalu pun orang baik sulit dicari. Bagaimana sekarang?
Keadaan lingkungan, sosial, ekonomi, hingga politik sering menghalangi menjadi orang baik. Para pengendara motor di Jakarta umumnya orang baik. Rumah yang jauh dari tempat kerja, juga berat beban perjalanan, membuat mereka ringan melampaui batas lampu merah atau malah menerobos rambu. 'Konstituen' banyak meminta dana bantuan, anggota DPR jadi sibuk mencari uang dengan berbagai cara. Para pejabat publik dituntut menjaga gengsi tak perlu. Dapat dimengerti bila banyak yang berlomba memanfaatkan kekuasaan untuk kepentingan itu. Keadaan semacam itu yang membuat orang baik sulit dicari.
Orang baik biasanya suka merendah. Jika tak benar-benar perlu, orang baik umumnya tak mau tampil. Itu membuat orang baik yang sudah sulit dicari makin sulit lagi dicari. Tapi, bukan berarti orang baik tak ada. Orang baik mungkin banyak. Cuma jumlahnya yang belum mencukupi untuk menjadi 'massa kritis' yang mampu mengubah umat dan bangsa ini menjadi baik. Perlu upaya untuk memperbanyak jumlah orang baik. Itu perlu upaya semua.
Orang baik dapat disebut sebagai orang yang ramah, santun, suka menolong, tak menyakiti, atau berbuat jahat pada yang lain. Juga tak korup atau menyalahgunakan wewenang. Tapi, kriteria orang baik tentu tak sesederhana itu. Orang baik juga harus mau dan mampu terus-menerus mengevaluasi dan memperbaiki diri. Orang baik tak akan pernah berhenti meningkatkan dan memperbaiki wawasan, sikap, serta perilaku. Orang baik juga akan terus belajar serta enggan mapan pada 'zona nyaman'-nya masing-masing. Orang baik suka mengambil prakarsa. Apa pun risikonya.
Orang baik demikian, tampaknya, yang diyakini dosen UGM itu akan membuat 'uang datang sendiri'. Boleh jadi kita merasa sudah jadi orang baik, namun ternyata uang tak kunjung datang sepanjang masa. Jika seperti itu, kita tentu belum sungguh-sungguh menjadi orang baik. Kita perlu berani mengevaluasi diri, membebaskan diri dari 'zona nyaman', terus menguatkan daya belajar diri, dan meningkatkan prakarsa. Itu berlaku bukan hanya bagi individu, melainkan juga masyarakat dan bangsa. Orang, masyarakat, serta bangsa yang baik akan membuat uang atau kemakmuran datang sendiri.
sumber : Mr. Mirosclav Arofich