Jumat, 29 Oktober 2010

Namanya BAI FANG LI

Pekerjaannya adalah seorang tukang becak. Seluruh hidupnya


dihabiskankan di atas sadel becaknya, mengayuh dan mengayuh untuk

memberi jasanya kepada orang yang naik becaknya. Mengantarkan kemana

saja pelanggannya menginginkannya, dengan imbalan uang sekedarnya.

Tubuhnya tidaklah perkasa. Perawakannya malah tergolong kecil untuk

ukuran becaknya atau orang-orang yang menggunakan jasanya. Tetapi

semangatnya luar biasa untuk bekerja. Mulai jam enam pagi setelah

melakukan rutinitasnya untuk bersekutu dengan Tuhan. Dia melalang

dijalanan, di atas becaknya untuk mengantar para pelanggannya. Dan ia

akan mengakhiri kerja kerasnya setelah jam delapan malam.

Para pelanggannya sangat menyukai Bai Fang Li, karena ia pribadi yang

ramah dan senyum tak pernah lekang dari wajahnya. Dan ia tak pernah

mematok berapa orang harus membayar jasanya. Namun karena kebaikan

hatinya itu, banyak orang yang menggunakan jasanya membayar lebih.

Mungkin karena tidak tega, melihat bagaimana tubuh yang kecil malah

tergolong ringkih itu dengan nafas yang ngos-ngosan (apalagi kalau

jalanan mulai menanjak) dan keringat bercucuran berusaha mengayuh becak

tuanya.

Bai Fang Li tinggal disebuah gubuk reot yang nyaris sudah mau rubuh, di

daerah yang tergolong kumuh, bersama dengan banyak tukang becak, para

penjual asongan dan pemulung lainnya. Gubuk itupun bukan miliknya,

karena ia menyewanya secara harian. Perlengkapan di gubuk itu sangat

sederhana. Hanya ada sebuah tikar tua yang telah robek-robek

dipojok-pojoknya, tempat dimana ia biasa merebahkan tubuh penatnya

setelah sepanjang hari mengayuh becak.

Gubuk itu hanya

merupakan satu ruang kecil dimana ia biasa merebahkan tubuhnya

beristirahat, diruang itu juga ia menerima tamu yang butuh bantuannya,

diruang itu juga ada sebuah kotak dari kardus yang berisi beberapa baju

tua miliknya dan sebuah selimut tipis tua yang telah bertambal-tambal.

Ada sebuah piring seng comel yang mungkin diambilnya dari tempat sampah

dimana biasa ia makan, ada sebuah tempat minum dari kaleng.

Dipojok ruangan tergantung sebuah lampu templok minyak tanah, lampu yang

biasa dinyalakan untuk menerangi kegelapan di gubuk tua itu bila malam

telah menjelang.

Bai Fang Li tinggal sendirian digubuknya. Dan orang hanya tahu bahwa ia

seorang pendatang. Tak ada yang tahu apakah ia mempunyai sanak saudara

sedarah. Tapi nampaknya ia tak pernah merasa sendirian, banyak orang

yang suka padanya, karena sifatnya yang murah hati dan suka menolong.

Tangannya sangat ringan menolong orang yang membutuhkan bantuannya, dan

itu dilakukannya dengan sukacita tanpa mengharapkan pujian atau balasan.

Dari penghasilan yang diperolehnya selama seharian mengayuh becaknya,

sebenarnya ia mampu untuk mendapatkan makanan dan minuman yang layak

untuk dirinya dan membeli pakaian yang cukup bagus untuk menggantikan

baju tuanya yang hanya sepasang dan sepatu bututnya yang sudah tak layak

dipakai karena telah robek. Namun dia tidak melakukannya, karena semua

uang hasil penghasilannya disumbangkannya kepada sebuah Yayasan

sederhana yang biasa mengurusi dan menyantuni sekitar 300 anak-anak

yatim piatu miskin di Tianjin. Yayasan yang juga mendidik anak-anak

yatim piatu melalui sekolah yang ada.

Hatinya sangat tersentuh ketika suatu ketika ia baru beristirahat

setelah mengantar seorang pelanggannya. Ia menyaksikan seorang anak

lelaki kurus berusia sekitar 6 tahun yang yang tengah menawarkan jasa

untuk mengangkat barang seorang ibu yang baru berbelanja. Tubuh kecil

itu nampak sempoyongan mengendong beban berat dipundaknya, namun terus

dengan semangat melakukan tugasnya. Dan dengan kegembiraan yang sangat

jelas terpancar dimukanya, ia menyambut upah beberapa uang recehan yang

diberikan oleh ibu itu, dan dengan wajah menengadah ke langit bocah itu

berguman, mungkin ia mengucapkan syukur pada Tuhan untuk rezeki yang

diperolehnya hari itu.

Beberapa kali ia perhatikan anak lelaki kecil itu menolong ibu-ibu yang

berbelanja, dan menerima upah uang recehan. Kemudian ia lihat anak itu

beranjak ketempat sampah, mengais-ngais sampah, dan waktu menemukan

sepotong roti kecil yang kotor, ia bersihkan kotoran itu, dan memasukkan

roti itu kemulutnya, menikmatinya dengan nikmat seolah itu makanan dari

surga.

Hati Bai Fang Li tercekat melihat itu, ia hampiri anak lelaki itu, dan

berbagi makanannya dengan anak lelaki itu. Ia heran, mengapa anak itu

tak membeli makanan untuk dirinya, padahal uang yang diperolehnya cukup

banyak, dan tak akan habis bila hanya untuk sekedar membeli makanan

sederhana.

"Uang yang saya dapat untuk makan adik-adik saya" jawab anak itu.

"Orang tuamu dimana?" tanya Bai Fang Li.

"Saya tidak tahu, ayah ibu saya pemulung. Tapi sejak sebulan lalu

setelah mereka pergi memulung, mereka tidak pernah pulang lagi. Saya

harus bekerja untuk mencari makan untuk saya dan dua adik saya yang

masih kecil" sahut anak itu.

Bai Fang Li minta anak itu mengantarnya melihat ke dua adik anak lelaki

bernama Wang Ming itu. Hati Bai Fang Li semakin merintih melihat kedua

adik Wang Fing, dua anak perempuan kurus berumur 5 tahun dan 4 tahun.

Kedua anak perempuan itu nampak menyedihkan sekali, kurus, kotor dengan

pakaian yang compang camping.

Bai Fang Li tidak menyalahkan kalau tetangga ketiga anak itu tidak

terlalu perduli dengan situasi dan keadaan ketiga anak kecil yang tidak

berdaya itu, karena memang mereka juga terbelit dalam kemiskinan yang

sangat parah, jangankan untuk mengurus orang lain, mengurus diri mereka

sendiri dan keluarga mereka saja mereka kesulitan.

Bai Fang Li kemudian membawa ke tiga anak itu ke Yayasan yang biasa

menampung anak yatim piatu miskin di Tianjin. Pada pengurus yayasan itu

Bai Fang Li mengatakan bahwa ia setiap hari akan mengantarkan semua

penghasilannya untuk membantu anak-anak miskin itu agar mereka

mendapatkan makanan dan minuman yang layak dan mendapatkan perawatan dan

pendidikan yang layak.

Sejak saat itulah Bai Fang Li menghabiskan waktunya dengan mengayuh

becaknya mulai jam 6 pagi sampai jam delapan malam dengan penuh semangat

untuk mendapatkan uang. Dan seluruh uang penghasilannya setelah dipotong

sewa gubuknya dan pembeli dua potong kue kismis untuk makan siangnya dan

sepotong kecil daging dan sebutir telur untuk makan malamnya, seluruhnya

ia sumbangkan ke Yayasan yatim piatu itu. Untuk sahabat-sahabat kecilnya

yang kekurangan.

Ia merasa sangat bahagia sekali melakukan semua itu, ditengah

kesederhanaan dan keterbatasan dirinya. Merupakan kemewahan luar biasa

bila ia beruntung mendapatkan pakaian rombeng yang masih cukup layak

untuk dikenakan di tempat pembuangan sampah. Hanya perlu menjahit

sedikit yang tergoyak dengan kain yang berbeda warna. Mhmmm... tapi

masih cukup bagus... gumannya senang.

Bai Fang Li mengayuh becak tuanya selama 365 hari setahun, tanpa perduli

dengan cuaca yang silih berganti, ditengah badai salju turun yang

membekukan tubuhnya atau dalam panas matahari yang sangat menyengat

membakar tubuh kurusnya.

"Tidak apa-apa saya menderita, yang penting biarlah anak-anak yang

miskin itu dapat makanan yang layak dan dapat bersekolah. Dan saya

bahagia melakukan semua ini," katanya bila orang-orang menanyakan

mengapa ia mau berkorban demikian besar untuk orang lain tanpa perduli

dengan dirinya sendiri.

Hari demi hari, bulan demi bulan dan tahun demi tahun, sehingga hampir

20 tahun Bai Fang Li menggenjot becaknya demi memperoleh uang untuk

menambah donasinya pada yayasan yatim piatu di Tianjin itu.

Saat berusia 90 tahun, dia mengantarkan tabungan terakhirnya sebesar RMB

500 (sekitar 650 ribu Rupiah) yang disimpannya dengan rapih dalam suatu

kotak dan menyerahkannnya ke sekolah Yao Hua.

Bai Fang Li berkata "Saya sudah tidak dapat mengayuh becak lagi. Saya

tidak dapat menyumbang lagi. Ini mungkin uang terakhir yang dapat saya

sumbangkan" katanya dengan sendu. Semua guru di sekolah itu menangis.

Bai Fang Li wafat pada usia 93 tahun, ia meninggal dalam kemiskinan.

Sekalipun begitu, dia telah menyumbangkan disepanjang hidupnya uang

sebesarRMB 350.000 (kurs 1300, setara 455 juta Rupiah jika tidak salah)

yang dia berikan kepada Yayasan yatim piatu dan sekolah-sekolah di

Tianjin untuk menolong kurang lebih 300 anak-anak miskin.

Foto terakhir yang orang punya mengenai dirinya adalah sebuah foto

dirinya yang bertuliskan "Sebuah Cinta yang istimewa untuk seseorang

yang luar biasa."