Hore, Hari Baru! Teman-teman.
Manusia sering dilanda
kekhawatiran jika hasil jerih payahnya diklaim oleh orang lain. Wajar. Apa lagi
dizaman serba serobot seperti saat ini. Oleh karenanya, saya mengajak Anda
untuk membubuhkan sidik jari pada setiap pekerjaan Anda. Mungkin yang dimaksud
adalah ’membubuhkan tanda tangan’ barangkali ya? Tidak. Saya memang dengan
sengaja mengajak Anda untuk membubuhkan ’sidik jari’ pada setiap hasil karya
Anda. Mungkin kurang lazim, tetapi itulah yang sedang saya serukan. Tanda
tangan Anda, bisa dengan mudah ditiru oleh orang lain. Tetapi, sidik jari Anda
tidak bisa tergantikan. Jika Anda berhasil membubuhkan sidik jari itu, maka
percayalah; tak satupun tindakan Anda yang bisa berpindah tangan kepada orang
lain. Dan seluruh tindakan Anda berikut hasilnya akan menjadi milik Anda
sepenuhnya. Apakah itu berhubungan dengan urusan kantor, maupun hal lainnya
dalam kehidupan Anda.
Steve Jobbs adalah salah
satu contoh pribadi yang berhasil membubuhkan sidik jarinya melalui kreasi
jenis-jenis huruf yang begitu kaya dan nyaman untuk dibaca. Kita menyebutnya
sebagai font kaligrafi. Dengan kaligrafi itu Anda bisa memilih beragam jenis
huruf, dengan gaya, ukuran dan model yang beragam. Meski sang maestro itu sudah
tiada, tapi ’sidik jarinya’ tetap melekat pada setiap komputer dan gadget
dengan merk maupun sistim operasi apapun. Steve Jobbs dan para penemu serta
pemikir lainnya adalah contoh orang-orang yang berhasil membubuhkan ’sidik
jarinya’ pada hasil karyanya. Yaitu mereka yang berhasil meninggalkan sesuatu
yang bermakna bagi kehidupan umat manusia. Setiap orang, bisa seperti mereka; jika bersedia
mengerahkan daya dirinya. Karena setiap pribadi telah dibekali dengan potensi
diri yang memadai, untuk menjadikan dirinya berharga. Bagi Anda yang tertarik
menemani saya belajar membubuhkan sidik jari pada pekerjaan kita, saya ajak
memulainya dengan memahami 5 sudut pandang Natural Intelligence berikut ini:
1. Menunjukkan keunikan pribadi. Sekarang kita sudah tahu bahwa
sidik jari setiap orang berbeda. Bukan saja secara fisik, melainkan juga secara
simbolik. Misalnya, Anda bisa merasakan mengapa masakan dengan resep yang sama
memiliki cita rasa yang berbeda jika dibuat oleh koki yang berbeda. Pekerjaan
yang sama memiliki kualitas yang berbeda jika dikerjakan oleh karyawan yang
berbeda. Kalimat yang sama terdengar berbeda ketika diucapkan oleh orang yang
berbeda. Jadi secara kodrati, kita ini benar-benar berbeda lho. Tapi, mengapa
kita sering sekali meniru orang-orang disekitar kita? Mereka hijau, kita hijau.
Biru, ya ikut
biru. Mereka malas ikut malas. Mereka rajin? Nah, barulah kita berbeda. Kita
cenderung untuk mengikuti saja yang orang lain lakukan. Padahal kita tahu,
dengan cara yang sama; kita akan mendapatkan hasil yang kurang lebih sama. Makanya kita tahu siapa
si peramah, dan siapa si pemarah. Siapa si rajin, dan siapa si malas. Itulah
identitas diri. Jika kemudian kita hanya menyamakan diri dengan orang lain,
maka itu artinya kita membunuh karakter pribadi yang tertuang dalam keunikan
diri kita sendiri. Perhatikanlah. Bahkan jika kita sama ramahnya dengan orang
lain. Garis senyum di bibir kita berbeda dengan mereka. Karena sidik jari kita,
menempel dalam keunikan pribadi kita.
2. Menghargai diri sendiri. Misalkan Anda memiliki seekor
sapi seberat satu ton, lalu memotongnya. Jika Anda mendapatkan 200 kg daging
yang bisa dijual seharga Rp. 50,000 per kilo. Kulitnya laku 250 ribu, sedangkan
kepala, tulang dan ekornya diborong seharga 750 ribu. Maka harga sapi itu
adalah Rp.
11,000,000.-. Nilai seekor sapi, ditentukan oleh harga jual organ tubuhnya.
Tidak lebih dari itu. Lantas, bagaimana menentukan harga seorang manusia?
Seberat-beratnya Anda, tentu bobotnya tidak seberat sapi. Jadi mungkin tidak
setinggi itu. Makanya, harga manusia tidak ditentukan oleh daging tulang dan
kulitnya, melainkan oleh apa yang bisa dikontribusikannya kepada dunia. Oleh
sebab itu, orang-orang yang menghargai dirinya sendiri bisa dicirikan dari
perilakunya sehingga hidupnya memiliki makna. Jika Anda melakukan sesuatu yang
besar manfaatnya, maka nilai atau harga diri Anda tinggi. Tetapi, jika Anda
tidak melakukan sesuatu yang bermakna maka nilai diri Anda juga tidak seberapa.
Banyak orang yang merasa dirinya tidak dihargai. Namun faktanya, semua orang
yang bisa berkontribusi pada lingkungannya sangat dihargai. Orang yang banyak
beramal, juga dihargai. Orang yang rajin berbagi ilmu dihormati. Orang yang
gemar menolong dicintai. Jelas sekali jika harga diri kita dibandrol oleh
sumbangsih kita kepada lingkungan. Dan setiap tindakan kita – baik atau buruk –
adalah jejak sidik jari yang menentukan harga diri kita sendiri.
3. Membuat hasil karya yang
autentik. Anda
pernah membeli suatu produk branded yang tidak asli? Misalnya, celana jeans.
Tas. Jam tangan. Atau pulpen. Branded, tapi tidak asli. Ketika menggunakan
benda-benda branded itu, apakah Anda merasakan bedanya dengan yang asli?
Meskipun ‘tampak luarnya’ mirip, namun benda-benda yang asli memiliki ‘taste’
dan ‘touch’ yang benar-benar berbeda. Anda yang mengetahui hal itu, pasti dapat
dengan mudah membedakan mana yang asli dan mana yang aspal. Anda tahu, bahwa
kualitas tidak bisa dimanipulasi oleh label. Itulah makna kata dari autentik.
Sesuatu yang autentik hanya bisa ditiru secara fisik, tetapi tidak bisa
dijiplak secara intrinsik. Makanya, seseorang hanya bisa meniru hasil karya
orang lain, tapi tidak akan bisa memberikan ‘jiwa’ yang sama kedalam hasil
karya jiplakannya. Kenapa sih harus begitu? Iya, karena setiap pribadi itu
autentik. Kenapa setiap pribadi harus autentik? Supaya bisa menghasilkan karya
yang juga autentik. Keautentikan
suatu hasil karya melekat erat dengan kepribadian sang pembuatnya. Dan karena
jiwa kita autentik, maka kita bisa meletakkan sidik jari kita dengan cara
mengerjakan setiap tugas sepenuh jiwa kita. Itulah yang kita sebut sebagai
‘penjiwaan’. Jika kita bisa ‘menjiwai’ setiap proses atau tindakan atau
pekerjaan yang kita lakukan, maka bisa dipastikan jika kita akan mampu
membubuhkan sidik jari kita pada karya yang dihasilkannya. Dan untuk itu, Anda
tidak perlu menjiplak hasil karya orang lain. Cukuplah dengan menjadi pribadi
yang autentik melalui penjiwaan terhadap setiap pekerjaan.
4. Mendapat tempat dimanapun. Pergilah ke belahan bumi
manapun. Sidik jari Anda tetaplah sama. Jika sidik jari itu ditemukan
dibelantara Papua, maka profilnya akan sama dengan jejak yang ditemukan di
hutan Amazon dari sidik jari yang sama. Yang namanya berkarya, tidak hanya
mengenal satu lokasi tertentu, atau saat kita sedang berurusan dengan
orang-orang tertentu. Artinya, nilai kebaikan yang bisa kita bangun sama
universalnya dengan rahasia yang tersimpan dalam sidik jari kita. Saat
melakukan kebaikan, Anda tidak membeda-bedakan agama, atau kebangsaan. Karena
kebaikan diperuntukkan bagi semua umat manusia. Anda juga tidak perlu terhalang
oleh tempat. Misalnya, kita sering mengira jika kantor tidak lebih dari sebuah
tempat untuk mencari nafkah. Padahal, justru dikantorlah kita punya kesempatan
yang banyak untuk berlatih dan menampilkan diri menjadi pribadi yang baik.
Kadang, kita baik dengan orang yang baru dikenal. Tapi tidak baik kepada orang
yang setiap hari bekerja disamping kita. Begitu juga di rumah. Kita ramah
kepada orang lain. Tapi ada ganjalan di hati saat harus berbuat sama ramahnya
terhadap pasangan hidup kita. Sidik jari kita secara konsisten berlaku dimana
saja. Maka sewajarnya nilai-nilai kebaikan kita juga sama konsistennya dimana
saja.
5. Memberi tanda secara netral. Sidik jari kita adalah bukti
bahwa kita pernah ‘bersentuhan’ dengan sesuatu. Dalam soal hasil karya, itu
adalah bukti kepemilikan. Dalam soal perbuatan, itu adalah tanggungjawab atas
konsekuensi yang ditimbulkannya. Bukan hanya pekerjaan baik yang meninggalkan
jejak sidik jari kita. Pekerjaan yang buruk pun demikian. Sayangnya, kita masih
sering mengira bahwa perbuatan buruk kita bisa ditutup-tutupi hingga tidak
ketahuan. Istilahnya, bisa cuci tangan untuk menghapuskan jejak sidik jari yang
menempel disana. Keliru jika kita mengira bisa menghapuskan jejak keburukan
itu. Karena dalam kitab suci, Tuhan telah berfirman;” ”Apakah manusia mengira Kami tidak akan mengupulkan
kembali tulang-belulangnya?” Ayat ini ditujukan kepada mereka yang mengira
bahwa keburukan perilakunya bisa disembunyikan. Lalu Tuhan meneruskan:”Bahkan
Kami mampu menyusun kembali jari jemarinya dengan sempurna.” Ayat yang turun
hampir 1,500 tahun lalu itu menegaskan bahwa sidik jari kita, tidak pernah bisa
dihapus. Apakah dalam perbuatan baik kita. Ataupun dalam perbuatan buruk kita.
Maka ayat ini juga mengingatkan kita agar ’tidak sembarangan’ menggunakan
tangan kita untuk melakukan sesuatu yang buruk. Karena jejaknya, akan
dikumpulkan kembali pada hari pembalasan.
Sidik jari kita bisa
menandai setiap hal yang kita lakukan. Dengan sidik jari itu, setiap orang yang
baik memiliki jaminan bahwa segala kebaikan yang pernah dilakukannya tidak akan
pernah bisa diklaim oleh orang lain. Itu akan tetap menjadi miliknya selama-lamanya.
Maka orang-orang baik tidak perlu risau jika seseorang menjiplak, atau
menyerobot hasil karyanya. Dia bisa bertenteram hati untuk terus berbuat baik
tanpa harus khawatir tidak kebagian buahnya. Sebaliknya, setiap orang yang
berperilaku buruk dijamin bakal mendapatkan balasan dari setiap keburukan yang
dilakukannya. Maka orang-orang yang pernah berbuat keburukan perlu sadar, bahwa
semuanya akan dimintai pertanggungjawaban. Karena dalam setiap perbuatan kita,
menempel jejak sidik jari kita.