Selasa, 25 Oktober 2011

Jejak Sidik Jari Pada Pekerjaan Anda


Hore, Hari Baru! Teman-teman.

Manusia sering dilanda kekhawatiran jika hasil jerih payahnya diklaim oleh orang lain. Wajar. Apa lagi dizaman serba serobot seperti saat ini. Oleh karenanya, saya mengajak Anda untuk membubuhkan sidik jari pada setiap pekerjaan Anda. Mungkin yang dimaksud adalah ’membubuhkan tanda tangan’ barangkali ya? Tidak. Saya memang dengan sengaja mengajak Anda untuk membubuhkan ’sidik jari’ pada setiap hasil karya Anda. Mungkin kurang lazim, tetapi itulah yang sedang saya serukan. Tanda tangan Anda, bisa dengan mudah ditiru oleh orang lain. Tetapi, sidik jari Anda tidak bisa tergantikan. Jika Anda berhasil membubuhkan sidik jari itu, maka percayalah; tak satupun tindakan Anda yang bisa berpindah tangan kepada orang lain. Dan seluruh tindakan Anda berikut hasilnya akan menjadi milik Anda sepenuhnya. Apakah itu berhubungan dengan urusan kantor, maupun hal lainnya dalam kehidupan Anda.

Steve Jobbs adalah salah satu contoh pribadi yang berhasil membubuhkan sidik jarinya melalui kreasi jenis-jenis huruf yang begitu kaya dan nyaman untuk dibaca. Kita menyebutnya sebagai font kaligrafi. Dengan kaligrafi itu Anda bisa memilih beragam jenis huruf, dengan gaya, ukuran dan model yang beragam. Meski sang maestro itu sudah tiada, tapi ’sidik jarinya’ tetap melekat pada setiap komputer dan gadget dengan merk maupun sistim operasi apapun. Steve Jobbs dan para penemu serta pemikir lainnya adalah contoh orang-orang yang berhasil membubuhkan ’sidik jarinya’ pada hasil karyanya. Yaitu mereka yang berhasil meninggalkan sesuatu yang bermakna bagi kehidupan umat  manusia. Setiap orang, bisa seperti mereka; jika bersedia mengerahkan daya dirinya. Karena setiap pribadi telah dibekali dengan potensi diri yang memadai, untuk menjadikan dirinya berharga. Bagi Anda yang tertarik menemani saya belajar membubuhkan sidik jari pada pekerjaan kita, saya ajak memulainya dengan memahami 5 sudut pandang Natural Intelligence berikut ini:

1.      Menunjukkan keunikan pribadi. Sekarang kita sudah tahu bahwa sidik jari setiap orang berbeda. Bukan saja secara fisik, melainkan juga secara simbolik. Misalnya, Anda bisa merasakan mengapa masakan dengan resep yang sama memiliki cita rasa yang berbeda jika dibuat oleh koki yang berbeda. Pekerjaan yang sama memiliki kualitas yang berbeda jika dikerjakan oleh karyawan yang berbeda. Kalimat yang sama terdengar berbeda ketika diucapkan oleh orang yang berbeda. Jadi secara kodrati, kita ini benar-benar berbeda lho. Tapi, mengapa kita sering sekali meniru orang-orang disekitar kita? Mereka hijau, kita hijau. Biru, ya  ikut biru. Mereka malas ikut malas. Mereka rajin? Nah, barulah kita berbeda. Kita cenderung untuk mengikuti saja yang orang lain lakukan. Padahal kita tahu, dengan cara yang sama; kita akan mendapatkan hasil yang kurang lebih sama.  Makanya kita tahu siapa si peramah, dan siapa si pemarah. Siapa si rajin, dan siapa si malas. Itulah identitas diri. Jika kemudian kita hanya menyamakan diri dengan orang lain, maka itu artinya kita membunuh karakter pribadi yang tertuang dalam keunikan diri kita sendiri. Perhatikanlah. Bahkan jika kita sama ramahnya dengan orang lain. Garis senyum di bibir kita berbeda dengan mereka. Karena sidik jari kita, menempel dalam keunikan pribadi kita.

2.      Menghargai diri sendiri. Misalkan Anda memiliki seekor sapi seberat satu ton, lalu memotongnya. Jika Anda mendapatkan 200 kg daging yang bisa dijual seharga Rp. 50,000 per kilo. Kulitnya laku 250 ribu, sedangkan kepala, tulang dan ekornya diborong seharga 750 ribu. Maka harga sapi itu adalah  Rp. 11,000,000.-. Nilai seekor sapi, ditentukan oleh harga jual organ tubuhnya. Tidak lebih dari itu. Lantas, bagaimana menentukan harga seorang manusia? Seberat-beratnya Anda, tentu bobotnya tidak seberat sapi. Jadi mungkin tidak setinggi itu. Makanya, harga manusia tidak ditentukan oleh daging tulang dan kulitnya, melainkan oleh apa yang bisa dikontribusikannya kepada dunia. Oleh sebab itu, orang-orang yang menghargai dirinya sendiri bisa dicirikan dari perilakunya sehingga hidupnya memiliki makna. Jika Anda melakukan sesuatu yang besar manfaatnya, maka nilai atau harga diri Anda tinggi. Tetapi, jika Anda tidak melakukan sesuatu yang bermakna maka nilai diri Anda juga tidak seberapa. Banyak orang yang merasa dirinya tidak dihargai. Namun faktanya, semua orang yang bisa berkontribusi pada lingkungannya sangat dihargai. Orang yang banyak beramal, juga dihargai. Orang yang rajin berbagi ilmu dihormati. Orang yang gemar menolong dicintai. Jelas sekali jika harga diri kita dibandrol oleh sumbangsih kita kepada lingkungan. Dan setiap tindakan kita – baik atau buruk – adalah jejak sidik jari yang menentukan harga diri kita sendiri.

3.      Membuat hasil karya yang autentik. Anda pernah membeli suatu produk branded yang tidak asli? Misalnya, celana jeans. Tas. Jam tangan. Atau pulpen. Branded, tapi tidak asli. Ketika menggunakan benda-benda branded itu, apakah Anda merasakan bedanya dengan yang asli? Meskipun ‘tampak luarnya’ mirip, namun benda-benda yang asli memiliki ‘taste’ dan ‘touch’ yang benar-benar berbeda. Anda yang mengetahui hal itu, pasti dapat dengan mudah membedakan mana yang asli dan mana yang aspal. Anda tahu, bahwa kualitas tidak bisa dimanipulasi oleh label. Itulah makna kata dari autentik. Sesuatu yang autentik hanya bisa ditiru secara fisik, tetapi tidak bisa dijiplak secara intrinsik. Makanya, seseorang hanya bisa meniru hasil karya orang lain, tapi tidak akan bisa memberikan ‘jiwa’ yang sama kedalam hasil karya jiplakannya. Kenapa sih harus begitu? Iya, karena setiap pribadi itu autentik. Kenapa setiap pribadi harus autentik? Supaya bisa menghasilkan karya yang juga autentik.  Keautentikan suatu hasil karya melekat erat dengan kepribadian sang pembuatnya. Dan karena jiwa kita autentik, maka kita bisa meletakkan sidik jari kita dengan cara mengerjakan setiap tugas sepenuh jiwa kita. Itulah yang kita sebut sebagai ‘penjiwaan’. Jika kita bisa ‘menjiwai’ setiap proses atau tindakan atau pekerjaan yang kita lakukan, maka bisa dipastikan jika kita akan mampu membubuhkan sidik jari kita pada karya yang dihasilkannya. Dan untuk itu, Anda tidak perlu menjiplak hasil karya orang lain. Cukuplah dengan menjadi pribadi yang autentik melalui penjiwaan terhadap setiap pekerjaan.

4.      Mendapat tempat dimanapun. Pergilah ke belahan bumi manapun. Sidik jari Anda tetaplah sama. Jika sidik jari itu ditemukan dibelantara Papua, maka profilnya akan sama dengan jejak yang ditemukan di hutan Amazon dari sidik jari yang sama. Yang namanya berkarya, tidak hanya mengenal satu lokasi tertentu, atau saat kita sedang berurusan dengan orang-orang tertentu. Artinya, nilai kebaikan yang bisa kita bangun sama universalnya dengan rahasia yang tersimpan dalam sidik jari kita. Saat melakukan kebaikan, Anda tidak membeda-bedakan agama, atau kebangsaan. Karena kebaikan diperuntukkan bagi semua umat manusia. Anda juga tidak perlu terhalang oleh tempat. Misalnya, kita sering mengira jika kantor tidak lebih dari sebuah tempat untuk mencari nafkah. Padahal, justru dikantorlah kita punya kesempatan yang banyak untuk berlatih dan menampilkan diri menjadi pribadi yang baik. Kadang, kita baik dengan orang yang baru dikenal. Tapi tidak baik kepada orang yang setiap hari bekerja disamping kita. Begitu juga di rumah. Kita ramah kepada orang lain. Tapi ada ganjalan di hati saat harus berbuat sama ramahnya terhadap pasangan hidup kita. Sidik jari kita secara konsisten berlaku dimana saja. Maka sewajarnya nilai-nilai kebaikan kita juga sama konsistennya dimana saja.

5.      Memberi tanda secara netral. Sidik jari kita adalah bukti bahwa kita pernah ‘bersentuhan’ dengan sesuatu. Dalam soal hasil karya, itu adalah bukti kepemilikan. Dalam soal perbuatan, itu adalah tanggungjawab atas konsekuensi yang ditimbulkannya. Bukan hanya pekerjaan baik yang meninggalkan jejak sidik jari kita. Pekerjaan yang buruk pun demikian. Sayangnya, kita masih sering mengira bahwa perbuatan buruk kita bisa ditutup-tutupi hingga tidak ketahuan. Istilahnya, bisa cuci tangan untuk menghapuskan jejak sidik jari yang menempel disana. Keliru jika kita mengira bisa menghapuskan jejak keburukan itu. Karena dalam kitab suci, Tuhan telah berfirman;” ”Apakah manusia mengira Kami tidak akan mengupulkan kembali tulang-belulangnya?” Ayat ini ditujukan kepada mereka yang mengira bahwa keburukan perilakunya bisa disembunyikan. Lalu Tuhan meneruskan:”Bahkan Kami mampu menyusun kembali jari jemarinya dengan sempurna.” Ayat yang turun hampir 1,500 tahun lalu itu menegaskan bahwa sidik jari kita, tidak pernah bisa dihapus. Apakah dalam perbuatan baik kita. Ataupun dalam perbuatan buruk kita. Maka ayat ini juga mengingatkan kita agar ’tidak sembarangan’ menggunakan tangan kita untuk melakukan sesuatu yang buruk. Karena jejaknya, akan dikumpulkan kembali pada hari pembalasan.

Sidik jari kita bisa menandai setiap hal yang kita lakukan. Dengan sidik jari itu, setiap orang yang baik memiliki jaminan bahwa segala kebaikan yang pernah dilakukannya tidak akan pernah bisa diklaim oleh orang lain. Itu akan tetap menjadi miliknya selama-lamanya. Maka orang-orang baik tidak perlu risau jika seseorang menjiplak, atau menyerobot hasil karyanya. Dia bisa bertenteram hati untuk terus berbuat baik tanpa harus khawatir tidak kebagian buahnya. Sebaliknya, setiap orang yang berperilaku buruk dijamin bakal mendapatkan balasan dari setiap keburukan yang dilakukannya. Maka orang-orang yang pernah berbuat keburukan perlu sadar, bahwa semuanya akan dimintai pertanggungjawaban. Karena dalam setiap perbuatan kita, menempel jejak sidik jari kita.