Kamis, 15 Desember 2011

perbaiki sekolah


Rhenald Kasali
 
Hari Rabu kemarin saya diminta berbicara di hadapan para guru SMA-SMP Kanisius tentang apa yang harus disikapi untuk membentuk generasi baru. Sebelumnya, saya juga sudah berbicara hal yang sama di SMA Al Izhar, High Scope, dan SMAN 1 Gianyar. Apa yang menjadi keprihatinan orang tua dan guru?
 
Pertama, mereka ingin mengklarifikasi benarkah pendidikan di Indonesia adalah yang terberat di dunia?.
Kedua mereka ingin mengetahui mengapa anak-anak kita hanya berhenti sampai di level juara Olimpiade matematika (dan fisika) saja?
Dan ketiga, apa yang harus dilakukan untuk meningkatkan mutu pengajaran dan tingkat keberhasilan anak didik.
 
Terberat – tersarat
 
Meski tidak tahu apakah kita masuk kategori “ter”, saya harus menyampaikan bahwa pendidikan dasar dan menengah kita memang berat.
Saking beratnya, seorang ketua yayasan pada sebuah pendidikan swasta sempat memeriksa isi tas anak-anak TK dan SD Kelas 1 di Jakarta dan ia mengatakan rata-rata seorang bocah kecil membawa beban berupa buku dan alat tulis seberat 2,5 Kilogram.
Selain jumlah pelajaran yang diwajibkan Undang-undang Sisdiknas terlalu banyak (16-20), buku-buku pelajaran yang harus dibeli orang tua dari sekolah rata-rata juga terlalu tebal, dengan kualitas isi yang masih perlu dipertanyakan. Pengalaman saya sebagai orang tua yang membimbing anak sendiri dalam belajar menemukan rumus-rumus yang tidak konsisten dan membingungkan antara halaman yang satu dengan halaman-halaman berikutnya pada buku yang sama. Sudah begitu, sebagian besar guru ternyata mengaku kesulitan memilih rumus mana yang benar?
Jadi rumus yang benar dan salah seringkali sama-sama diajarkan.
 
Tak banyak guru yang menyadari bahwa 80% isi sebuah buku, intinya hanya berada pada 20% dari jumlah halamannya. Akibat ketidaktahuan ini  jelas fatal, seluruh isi buku dijejalkan pada kepala anak didik. Meski dari 16-20 mata pelajaran yang diajarkan di SMU (seorang tua murid SMK menyebutkan anaknya diberi 28 mata pelajaran) hanya 6 mata pelajaran yang diujikan pada ujian nasional, kesepuluh hingga 14 guru pada mata pelajaran lainnya berebut masuk ke dalam otak anak-anak dengan cara yang sama. Mereka semua ingin mata ajarnya berperan sama kuatnya dengan mata pelajaran yang diuji secara nasional.
 
Lengkaplah sudah penderitaan anak-anak sekolah Indonesia. Semua guru menganggap pelajarannya penting. Sepenting itulah mereka bisa membuat anak tidak naik kelas hanya karena nilai mata pelajaran geografi di bawah 6, atau harus mengulang. Ada banyak guru yang beranggapan mengulang berarti bodoh, dan nilainya harus di bawah rata-rata murid lainnya. Kalau rata-ratanya 6, yang mengulang otomatis diberi nilai di bawah 6 tanpa diperiksa. Guru-guru kita masih beranggapan kalau murid ditekan maka anak-anak akan menjadi lebih respek, lebih rajin, atau lebih hebat. Padahal itu hanya mencerminkan ego-nya yang teramat besar dan dapat berakibat buruk bagi setiap anak-anak didik.
 
Mata pelajaran-mata pelajaran yang maaf, harus saya katakan dapat dibuat lebih relax dan fun, telah dirubah menjadi momok  yang menakutkan. Ia dijadikan setara dengan ilmu pasti yang sarat rumus dan adat. Ia berebut perhatian yang sama dengan mata pelajaran–mata pelajaran yang diuji secara nasional. Disajikan terlalu serius dan berakibat hilangnya esensi yang mau dicapai. Untuk mengatasi hal ini saya menyarankan guru-guru pandai memilih esensi dari sebuah buku dan mulai membuat pelajaran-pelajaraNnya disampaikan dengan cara yang lebih fun dan menyenangkan.
 
Juara Olimpiade
 
Ini tentu kabar yang menggembirakan. Meski sering kalah dalam bidang-bidang lain, kita sering menyaksikan anak-anak asuhan Prof Yohannes Surya membawa medali emas olimpiade Matematika dan Fisika. Tetapi pertanyaannya kemana setelah itu? Apakah mereka akan mendapatkan hadiah Nobel? Menemukan teori-teori baru?
 
Meski semua itu dicapai dengan kerja keras, harus saya kabarkan bahwa beban ilmu yang kita berikan di sini memang sangat tinggi. Sekedar Anda ketahui saja, aljabar yang kita pelajari di level SMP di sini, ternyata baru diajarkan pada level SMA di negara-negara lain. Bahkan sewaktu saya mengambil program S3 di Amerika Serikat dan menjadi Asisten Professor dengan mengajar di program S3, saya melihat anak-anak di Amerika Serikat baru mendapatkan differensial dan Integral di tingkat Universitas. Kita mengajarkan topik itu, bersama dengan topik mengenai matrix sejak di bangku SLTA.Seringkali saya ingin mengulangi kalimat yang pernah saya sampaikan bahwa saya tidak komplain kalau sampai dengan ilmu yang sangat tinggi itu kita sudah sampai di Bulan atau di Venus, dan bisa membuat otomatis kelas dunia. Kenyataannya ternyata tidak demikian.
 
Untuk menjadi penerima hadiah Nobel atau menjadi ahli matematika yang hebat, anak-anak itu harus memiliki keterampilan menulis yang hebat dan kemampuan mengelola rasa frustasi yang kuat. Sayangnya, beberapa sekolah yang sering juara olimpiade malah melarang guru-gurunya mendalami keterampilan menulis. Kalau anak-anak itu hanya jagoan mengolah rumus dan otak kanannya tidak dilatih, mereka juga tidak akan menjadi orang hebat untuk diri mereka sendiri. Mereka akan frustasi, karena tidak ada pengakuan.
 
Menjadi Manusia Hebat
 
Akhirnya saya harus menutup tulisan ini dengan mengajak para guru memeriksa kembali, benarkah cara-cara yang ditempuh sekarang akan melahirkan manusia-manusia hebat?
Manusia hebat bukanlah manusia yang memperoleh nilai mata pelajaran yang tinggi-tinggi, melainkan manusia berkarakter kuat, dapat dipercaya, mudah diterima, memiliki growth mindset, berjiwa terbuka, dan pandai mengungkapkan isi pikirannya dengan baik. Kalau ini sudah jelas, buat apa membuang waktu sia-sia?