Rabu, 28 Juli 2010

encouragement - rhenald kasali

ncouragement 
by Rhenald kasali 
Thursday, 15 July 2010 

LIMA belas tahun lalu saya pernah mengajukan protes pada guru sebuah sekolah 
tempat anak saya belajar di Amerika Serikat. 

Masalahnya, karangan berbahasa Inggris yang ditulis anak saya seadanya itu 
telah diberi nilai E (excellence) yang artinya sempurna, hebat,bagus sekali. 
Padahal dia baru saja tiba di Amerika dan baru mulai belajar bahasa. 
Karangan yang dia tulis sehari sebelumnya itu pernah ditunjukkan kepada saya 
dan saya mencemaskan kemampuan verbalnya yang terbatas. Menurut saya tulisan 
itu buruk, logikanya sangat sederhana. 

Saya memintanya memperbaiki kembali,sampai dia menyerah.Rupanya karangan 
itulah yang diserahkan anak saya kepada gurunya dan bukan diberi nilai 
buruk, malah dipuji. Ada apa? Apa tidak salah memberi nilai? Bukankah 
pendidikan memerlukan kesungguhan? Kalau begini saja sudah diberi nilai 
tinggi, saya khawatir anak saya cepat puas diri. Sewaktu saya protes, ibu 
guru yang menerima saya hanya bertanya singkat. "Maaf Bapak dari mana?" 
"Dari Indonesia," jawab saya.Dia pun tersenyum. 

Budaya Menghukum 

Pertemuan itu merupakan sebuah titik balik yang penting bagi hidup saya. 
Itulah saat yang mengubah cara saya dalam mendidik dan membangun masyarakat. 
"Saya mengerti," jawab ibu guru yang wajahnya mulai berkerut, namun tetap 
simpatik itu. "Beberapa kali saya bertemu ayah-ibu dari Indonesia yang 
anak-anaknya dididik di sini,"lanjutnya. "Di negeri Anda, guru sangat sulit 
memberi nilai.Filosofi kami mendidik di sini bukan untuk menghukum, 
melainkan untuk merangsang orang agar maju. Encouragement! " Dia pun 
melanjutkan argumentasinya. 

"Saya sudah 20 tahun mengajar. Setiap anak berbeda-beda. Namun untuk anak 
sebesar itu, baru tiba dari negara yang bahasa ibunya bukan bahasa Inggris, 
saya dapat 
menjamin, ini adalah karya yang hebat," ujarnya menunjuk karangan berbahasa 
Inggris yang dibuat anak saya. Dari diskusi itu saya mendapat pelajaran 
berharga. Kita tidak dapat mengukur prestasi orang lain menurut ukuran 
kita.Saya teringat betapa mudahnya saya menyelesaikan study saya yang 
bergelimang nilai "A", dari program master hingga doktor. Sementara di 
Indonesia, saya harus menyelesaikan studi jungkir balik ditengarai ancaman 
drop out dan para penguji yang siap menerkam. Saat ujian program doktor saya 
pun dapat melewatinya dengan mudah. 

Pertanyaan mereka memang sangat serius dan membuat saya harus benar-benar 
siap. Namun suasana ujian dibuat sangat bersahabat. Seorang penguji bertanya 
dan 
penguji yang lain tidak ikut menekan, melainkan ikut membantu memberikan 
jalan begitu mereka tahu jawabannya. Mereka menunjukkan grafikgrafik yang 
saya buat dan menerangkan seterang-terangnya sehingga kami makin mengerti. 
Ujian penuh puja-puji, menanyakan ihwal masa depan dan mendiskusikan 
kekurangan penuh keterbukaan. Pada saat kembali ke Tanah Air, banyak hal 
sebaliknya sering saya saksikan. Para pengajar bukan saling menolong, malah 
ikut "menelan" mahasiswanya yang duduk di bangku ujian. 

Ketika seseorang penguji atau promotor membela atau meluruskan pertanyaan, 
penguji marah-marah, tersinggung, dan menyebarkan berita tidak sedap 
seakan-akan 
kebaikan itu ada udang di balik batunya. Saya sempat mengalami frustrasi 
yang luar biasa menyaksikan bagaimana para dosen menguji, yang maaf, menurut 
hemat saya sangat tidak manusiawi. Mereka bukan melakukan encouragement, 
melainkan discouragement. Hasilnya pun bisa diduga, kelulusan rendah dan 
yang diluluskan pun kualitasnya tidak hebat-hebat betul. Orang yang tertekan 
ternyata belakangan saya temukan juga menguji dengan cara menekan. 

Ada semacam balas dendam dan kecurigaan. Saya ingat betul bagaimana 
guru-guru di Amerika memajukan anak didiknya. Saya berpikir pantaslah 
anak-anak di sana mampu 
menjadi penulis karya-karya ilmiah yang hebat, bahkan penerima Hadiah Nobel. 
Bukan karena mereka punya guru yang pintar secara akademis, melainkan 
karakternya sangat kuat: karakter yang membangun, bukan merusak. Kembali ke 
pengalaman anak saya di atas, ibu guru mengingatkan saya. "Janganlah kita 
mengukur kualitas anak-anak kita dengan kemampuan kita yang sudah jauh di 
depan," ujarnya dengan penuh kesungguhan. Saya juga teringat dengan rapor 
anak-anak di Amerika yang ditulis dalam bentuk verbal. 

Anak-anak Indonesia yang baru tiba umumnya mengalami kesulitan, namun 
rapornya tidak diberi nilai merah, melainkan diberi kalimat yang 
mendorongnya untuk bekerja lebih keras, seperti berikut. "Sarah telah 
memulainya dengan berat, dia mencobanya dengan sungguh-sungguh. Namun Sarah 
telah menunjukkan kemajuan yang berarti." Malam itu saya mendatangi anak 
saya yang tengah tertidur dan mengecup keningnya. Saya ingin memeluknya di 
tengah-tengah rasa salah telah memberi penilaian yang tidak objektif. Dia 
pernah protes saat menerima nilai E yang berarti excellent (sempurna),tetapi 
saya mengatakan "gurunya salah". Kini saya melihatnya dengan kacamata yang 
berbeda. 

Melahirkan Kehebatan 

Bisakah kita mencetak orang-orang hebat dengan cara menciptakan hambatan dan 
rasa takut? Bukan tidak mustahil kita adalah generasi yang dibentuk oleh 
sejuta ancaman: gesper, rotan pemukul, tangan bercincin batu akik, kapur, 
dan penghapus yang dilontarkan dengan keras oleh guru, sundutan rokok, dan 
seterusnya. Kita dibesarkan dengan seribu satu kata-kata ancaman: Awas...; 
Kalau,...; Nanti,...; dan tentu saja tulisan berwarna merah menyala di atas 
kertas ujian dan rapor di sekolah. 

Sekolah yang membuat kita tidak nyaman mungkin telah membuat kita menjadi 
lebih disiplin. Namun di lain pihak dia juga bisa mematikan inisiatif dan 
mengendurkan 
semangat. Temuan-temuan baru dalam ilmu otak ternyata menunjukkan otak 
manusia tidak statis, melainkan dapat mengerucut (mengecil) atau sebaliknya, 
dapat tumbuh. Semua itu sangat tergantung dari ancaman atau dukungan 
(dorongan) yang didapat dari orang-orang di sekitarnya. Dengan demikian 
kecerdasan manusia dapat tumbuh, sebaliknya dapat menurun. Seperti yang 
sering saya katakan, ada orang pintar dan ada orang yang kurang pintar atau 
bodoh. 

Tetapi juga ada orang yang tambah pintar dan ada orang yang tambah bodoh. 
Mari kita renungkan dan mulailah mendorong kemajuan, bukan menaburkan 
ancaman atau 
ketakutan. Bantulah orang lain untuk maju, bukan dengan menghina atau 
memberi ancaman yang menakut-nakuti. (*) 

RHENALD KASALI 
Ketua Program MM UI